
Di sudut-sudut negeri yang jauh dari hiruk-pikuk kota, para pedagang kecil berjuang untuk bertahan. Mereka bangun sebelum matahari terbit, menyiapkan barang dagangan, berharap ada cukup pembeli hari ini. Namun, ada satu masalah yang selalu menghantui yakni uang tunai yang semakin sulit beredar.
HADI ARIS ISKANDAR, Malinau
Dulu, Yanto (47), seorang pedagang sembako di perbatasan Malinau – Malaysia, hanya bisa pasrah saat pelanggan dari Malaysia batal membeli dagangannya karena mereka tidak memiliki rupiah.
“Mereka mau beli, tapi nggak ada uang tunai. Saya nggak bisa terima ringgit, akhirnya mereka pergi begitu saja,” katanya, mengenang hari-hari berat itu.
Tak hanya Yanto, ratusan pedagang kecil di perbatasan mengalami hal serupa. Setiap hari mereka harus menghadapi ketidakpastian, berharap ada cukup pelanggan yang membawa uang tunai dalam jumlah pas. Jika tidak, dagangan mereka tetap di tempat, dan dapur di rumah mungkin tak mengepul.
Ketika QRIS BRI mulai diperkenalkan di perbatasan, harapan itu muncul. Kini, para pedagang bisa menerima pembayaran digital, baik dari Indonesia maupun luar negeri.
“Saya senang waktu pertama kali pakai QRIS. Nggak perlu lagi khawatir soal uang tunai,” kata Yanto, matanya berbinar.
Namun, tidak semua pedagang langsung bisa beradaptasi. Banyak dari mereka tidak terbiasa dengan teknologi. Ada yang tak punya ponsel canggih, ada yang bahkan belum pernah menggunakan aplikasi keuangan digital.
Siti (52), seorang penjual makanan di dekat pos perbatasan, mengaku awalnya takut. “Saya nggak paham teknologi. Takut salah, takut uang saya malah hilang entah ke mana,” ujarnya sambil tersenyum pahit.
BRI pun turun tangan, memberikan pelatihan kepada para pedagang. Mereka diajarkan cara menggunakan QRIS, bagaimana memastikan pembayaran masuk, dan bagaimana mengelola keuangan digital. Pelatihan ini tidak mudah, butuh waktu, tapi perlahan mereka belajar.
Dengan QRIS, para pedagang tak lagi harus menyimpan uang tunai dalam jumlah besar, mengurangi risiko pencurian. “Dulu kalau jualan ramai, saya deg-degan bawa uang banyak. Takut dirampok di jalan,” kata Yanto.
Namun, meski QRIS membawa harapan baru, tantangan lain tetap ada. Sinyal internet yang sering kali tidak stabil membuat pembayaran digital terkadang terhambat. Ada juga pelanggan yang belum terbiasa dengan pembayaran digital, membuat pedagang harus bersabar mengajari mereka satu per satu.
“Sekarang lebih mudah, tapi tetap ada hari-hari sepi. Kalau nggak ada pelanggan, ya tetap saja nggak ada pemasukan,” ujar Siti dengan suara lirih.
Di tengah segala keterbatasan, satu hal tetap mereka genggam yakni harapan. Harapan bahwa esok akan lebih baik, bahwa teknologi yang dulu terasa asing kini bisa menjadi penyelamat.
Di perbatasan yang sunyi, di antara kios-kios kecil yang berdiri dengan penuh perjuangan, para pedagang kini punya sesuatu yang dulu sulit mereka bayangkan—kesempatan untuk tetap bertahan, untuk tetap berjualan, untuk tetap berharap.
Dan bagi Yanto, Siti, serta ratusan pedagang lainnya, QRIS bukan sekadar alat pembayaran. Ini adalah secercah harapan di ujung batas negeri. (***)