
MALINAU – Pagi itu, langit mendung menaungi Desa Sukamaju. Agus Setiawan (42) membuka warung kelontongnya seperti biasa, tapi ada sesuatu yang berbeda. Seorang ibu, dengan wajah penuh kecemasan, berdiri di depan meja kecil tempat Agus meletakkan mesin EDC BRILink.
“Pak, saya mau kirim uang buat anak saya di kota. Dia belum makan dari kemarin,” ucap ibu itu dengan suara bergetar. Agus menelan ludah. Bukan sekali dua kali ia menghadapi situasi seperti ini. Dengan cekatan, ia memasukkan angka di mesin, memastikan transaksi berjalan lancar.
“Sudah, Bu. Anak ibu sebentar lagi bisa ambil uangnya,” kata Agus dengan senyum tipis, mencoba menenangkan. Ibu itu mengangguk sambil menghapus air mata yang jatuh di pipinya.
Di desa kecil seperti Setulang, Kabupaten Malinau kehidupan berjalan tidak selalu mudah. Tidak ada bank, tidak ada ATM. Untuk menarik uang atau sekadar membayar listrik, warga harus menempuh perjalanan puluhan kilometer ke kota terdekat.
Biaya transportasi yang mahal dan waktu yang terbuang membuat banyak orang memilih bertahan dengan keterbatasan.
Namun, sejak Agus menjadi Agen BRILink dua tahun lalu, keadaan sedikit berubah. Warga tak lagi harus meninggalkan desa hanya untuk bertransaksi. Mereka bisa datang ke warungnya, tempat kecil yang kini menjadi jembatan mereka ke dunia perbankan.
“Saya bukan pegawai bank, tapi saya tahu bagaimana rasanya butuh uang tapi tidak tahu harus ke mana. Saya hanya ingin membantu,” ujar Agus, matanya menerawang.
Tapi tidak semua orang seberuntung ibu tadi. Beberapa bulan lalu, seorang bapak tua datang dengan wajah kebingungan. Ia ingin menarik uang untuk biaya berobat istrinya yang sedang sakit parah.
“Pak Agus, saya butuh Rp500 ribu buat beli obat istri saya. Tapi kalau saya tarik sekarang, uang saya di rekening tinggal sedikit. Saya takut nanti nggak cukup buat makan,” katanya dengan suara lirih.
Agus hanya bisa diam. Ia tahu bapak itu sedang dihadapkan pada pilihan yang mustahil: mengobati istrinya atau memastikan mereka tetap bisa makan dalam beberapa minggu ke depan. Dengan berat hati, bapak itu akhirnya menarik Rp300 ribu saja, berharap itu cukup untuk membeli obat.
Hari itu, Agus pulang dengan perasaan berat. Ia sadar, meski BRILink sudah membantu banyak orang, kenyataan hidup di desa tetap keras. Tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan mudah.
Menjadi Agen BRILink bukan hanya soal bisnis bagi Agus. Setiap transaksi yang ia lakukan membawa cerita, membawa kehidupan seseorang dalam genggamannya. Ia melihat langsung bagaimana uang yang dikirim seorang ibu bisa menyelamatkan anaknya dari kelaparan. Ia menyaksikan bagaimana seorang anak muda yang baru mendapat gaji pertama tersenyum bangga saat menarik uang dari rekeningnya.
Tapi di sisi lain, ada juga hari-hari ketika ia merasa tidak berdaya. Pernah suatu kali, seorang buruh tani datang hendak mengirim uang ke istrinya. Namun saldo di rekeningnya kurang Rp10 ribu. Hanya Rp10 ribu—jumlah yang mungkin tidak berarti bagi sebagian orang, tetapi bagi buruh itu, itu adalah pemisah antara bisa mengirim uang atau tidak.
Dengan uangnya sendiri, Agus menambahkan kekurangan itu. “Sudah, Pak. Nanti kalau ada rezeki, ingat saya saja,” katanya. Buruh itu terdiam lama sebelum akhirnya mengucapkan terima kasih dengan suara serak.
Meski membantu banyak orang, Agus sendiri menghadapi tantangan besar. Saldo modal yang ia miliki sering kali tidak cukup untuk memenuhi permintaan tarik tunai dari warga. Pernah suatu hari, seorang ibu datang panik karena harus segera membayar biaya rumah sakit suaminya di kota.
“Pak Agus, tolong, saya butuh tarik tunai Rp2 juta sekarang juga. Suami saya butuh operasi!”kata Agus.
Namun saldo di rekening Agus hanya tersisa Rp1 juta. Ia mencoba mencari pinjaman ke tetangga, tapi tidak ada yang bisa membantu dalam waktu singkat. Dengan wajah penuh kekecewaan, ibu itu akhirnya pergi, meninggalkan Agus dengan perasaan bersalah yang menghantui.
“Kadang saya berpikir, apa gunanya saya jadi agen kalau saya tidak bisa membantu di saat paling dibutuhkan?” katanya, suaranya sedikit bergetar.
Namun, di balik segala kesulitan, Agus tetap bertahan. Ia percaya bahwa sekecil apa pun usahanya, ia tetap memberikan manfaat bagi orang-orang di sekitarnya.
“Kalau saya menyerah, warga di sini harus kembali ke zaman dulu—ke kota hanya untuk tarik uang, habis ongkos sebelum uangnya sempat dipakai,” ujarnya.
Ia berharap suatu hari nanti, ia bisa mendapatkan modal tambahan agar tidak lagi harus menolak transaksi karena keterbatasan saldo. Ia juga berharap akses internet di desanya semakin baik, agar transaksi bisa berjalan lebih cepat dan lancar.
“Saya tidak minta banyak, hanya ingin bisa terus membantu. Karena saya tahu, bagi sebagian orang, uang yang mereka tarik di sini bukan sekadar angka di rekening—itu bisa jadi harapan terakhir mereka,” tutupnya dengan senyum lelah. (*/hai)