
MALINAU – Di balik gemerlapnya persaingan BRI Liga 1, ada satu elemen yang tak tergantikan yakni masyarakat sepak bola.
Dari suporter fanatik di hingga pedagang kaki lima yang menggantungkan hidupnya pada hari pertandingan, Liga 1 bukan sekadar kompetisi, melainkan denyut nadi bagi banyak orang.
Di setiap tempat nobar di Malinau, Kalimantan Utara, suara drum, nyanyian, dan koreografi megah menjadi ciri khas suporter Indonesia.
Kelompok-kelompok seperti Bobotoh, Bonek, Jakmania, dan Aremania tak hanya datang untuk menyaksikan pertandingan, tapi juga membawa atmosfer yang membuat Liga 1 begitu hidup.
Budi, seorang anggota Pasoepati (suporter Persis Solo), mengungkapkan bagaimana sepak bola telah menjadi bagian dari identitasnya.
“Saya sudah ikut mendukung Persis sejak kecil. Stadion bukan cuma tempat menonton bola, tapi tempat kami berkumpul, berbagi cerita, dan merasakan kebanggaan bersama.” kata Budi.
Setiap laga Liga 1 bukan hanya tentang 90 menit di lapangan, tapi juga tentang kehidupan banyak orang di sekitarnya.
Warung makan di sekitar stadion, tukang parkir, hingga penjual atribut klub meraup keuntungan dari antusiasme suporter.
Siti, seorang pedagang atribut sepak bola di Malinau, mengaku pendapatannya bisa naik dua kali lipat saat Persebaya bermain. “Kalau ada pertandingan, laris banget. Suporter biasanya beli kaos, syal, atau bendera buat dukung tim mereka.” kata Siti.
Sepak bola juga membentuk solidaritas di antara masyarakat. Banyak aksi sosial lahir dari komunitas suporter, mulai dari penggalangan dana untuk korban bencana hingga aksi donor darah.
Namun, rivalitas yang tinggi juga bisa menjadi tantangan, terutama jika berujung pada bentrokan antarpendukung.
“Kami selalu mengedukasi anggota untuk mendukung dengan damai. Sepak bola harus menyatukan, bukan memecah belah,” kata Andi, seorang koordinator suporter Persija.
Dengan semakin berkembangnya Liga 1, masyarakat berharap kompetisi ini tidak hanya melahirkan pemain berkualitas tetapi juga membawa dampak positif yang lebih besar bagi mereka.
Dari tribun ke lapangan, dari pedagang ke penonton, semua memiliki peran dalam ekosistem sepak bola Indonesia.
“Sepak bola bukan cuma olahraga, tapi budaya kita,” tutup Budi sambil tersenyum.
Hal ini menggambarkan bagaimana Liga 1 bukan sekadar kompetisi, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. (*/hai)